Setiap hendak tidur di malam hari, idealnya seorang membaca doa sebelum
tidur yang lebih kurang berbunyi: “Bismika allahumma aḥya
wa bismika amūt”. Di samping itu juga dianjurkan untuk
ditambah dengan bacaan-bacaan lain seperti mau’izatain, ayat al-kursi, dan
sebagainya. Pada dasarnya, semua itu merupakan wujud dari penyerahan diri
kepada Allah sang Penjaga manusia, karena tidak dapat dipungkiri bahwa kita
selalu berada di bawah lindungan Allah.
Di saat tidur, resiko seseorang mendapatkan gangguan sangat banyak sekali. Dan gangguan itu bisa datang dari mana saja, mulai dari hal yang nyata seumpama hewan kecil di sekitarnya seperti serangga, semut, nyamuk, dan sebagainya, hingga yang metafisis yang memungkinkan seorang mengalami mimpi buruk. Maka siapa lagi yang menjaga seorang yang tidur selain Allah?
Di saat tidur, resiko seseorang mendapatkan gangguan sangat banyak sekali. Dan gangguan itu bisa datang dari mana saja, mulai dari hal yang nyata seumpama hewan kecil di sekitarnya seperti serangga, semut, nyamuk, dan sebagainya, hingga yang metafisis yang memungkinkan seorang mengalami mimpi buruk. Maka siapa lagi yang menjaga seorang yang tidur selain Allah?
Begitu juga di saat bangun di esok harinya, hendaknya seseorang membaca
doa lagi yang lebih kurang berbunyi “Alhamdu lillahi allazi ahyana ba’da ma
amatana wa ilaihi an-nusyur”. Doa ini merupakan ungkapan syukur seorang
hamba kepada Tuhannya (Allah swt) yang telah menjaganya di waktu tidur dari
segala macam gangguan dan membangunkannya dengan selamat di waktu pagi. Dan
tidur yang nyenyak dan berkualitas adalah suatu nikmat yang tiada tara
harganya.
Namun, di balik semua itu, perlu kita perhatikan suatu rahasia dari
kedua doa tersebut. Sewaktu mau tidur, kalimat doa mengindikasikan pembicara
(yang berdoa) dalam konteks individu. Hal ini dibuktikan dengan penggunaan kata
‘ahya’ dan ‘amut’, yang dalam gramatika bahasa Arab merupakan fi’il
mudhari’ yang mengandung dhamir ‘ana’ yang berarti saya. Dan
sebaliknya doa sewaktu bangun menggunakan kata ‘ahyana’ dan ‘amatana’
yang mengandung dhamir ‘nahnu’
yang berarti kami atau kita. Lantas, apa yang menjadi rahasia kedua doa
ini? Perhatikan pembahasan berikut ini!
Sebagaimana di sampaikan di atas, kata ‘ahya’ merupakan fi’il
mudhari’ (kata kerja yang berarti future atau continious dalam
bahasa Inggris). Kata ini mengandung dhamir ‘ana’ sehingga memiliki arti
‘saya hidup’. Tidak berbeda dengan kata ‘amut’. Ia juga mengandung
dhamir ‘ana’ sehingga berarti ‘saya mati’. Sehingga, jika diterjemahkan
secara keseluruhan, doa tersebut bermakna “Dengan nama Engkau lah ya Allah
aku hidup dan dengan nama Engkau pulalah aku mati”. Sementara pada doa
bangun tidur, dhamir ‘ana’ tersebut berubah menjadi ‘nahnu’ dan
posisinya pun berubah dari subjek menjadi objek. Hal ini terbukti dengan
redaksi doa ‘ahyana’ dan ‘amatana’. Kedua berarti ‘menghidupkan
kami’ dan ‘mematikan kami’. Dan jika diterjemahkan secara keseluruhan akan
berarti “Segala puji bagi (Allah) yang menghidupkan kami setelah mematikan
kami dan kepada-Nya lah tempat kembali” . Mari kita kupas satu per satu.
Doa bangun tidur ini tidak hanya bermakna pengungkapan rasa syukur.
Lebih dari itu, ia merupakan penegasan status manusia sebagi makhluk sosial. Ia
juga menjadi ungkapan optimisme seseorang yang konsisten untuk menjalani
kehidupan sosial. Kata ‘ahyana’ mengindikasikan ketidakmampuan manusia
untuk hidup sendiri. untuk itu, setiap manusia secara mutlak membutuhkan
hubungan sosial. Ia hidup dalam lingkup sosial dalam tatanan yang kompleks.
Makanya kata tersebut diiringi dhamir ‘nahnu’.
Sebagai konsekuensinya, setiap manusia harus memperhatikan nilai-nilai
dalam menjalankan interaksi sosialnya. Ia harus pintar bersikap di tengah
masyarakat sosial dengan tolok ukur norma dan nilai yang berlaku. Nilai dan
norma tersebut bisa berasal dari agama, adat, kesopanan, maupun kesadaran
kolektif yang menyatakan bahwa sesuatu pekerjaan itu baik dan yang lainnya
buruk. Ia dituntut untuk menghindari setiap benturan yang sangat mungkin
terjadi antara individu dan inddividu lainnya. Sedapat mungkin jumlah penyimpangan
sosial harus ditekan. Dengan itu, berarti ia telah berhasil membuktikan
konsistensi dari ungkapan optimismenya di setiap bangun tidur.
Namun, status manusia sebagai
makhluk sosial tersebut hilang saat ia mulai memasuki alam akhirat. Kata ‘amut’
dalam doa sebelum tidur tersebut tidak lagi bermakna plural, melainkan
berubah menjadi singular. Berarti, untuk menghadapi kematian dan alam-alam
setelahnya, manusia berubah menjadi makhluk yang individual. Semenjak dijemput
oleh Izra’il, manusia tida dapat lagi memikirkan orang lain, apakah
anak, istri , orang tua, teman, apalagi negara. Setiap manusia hanya sibuk
dengan urusan pribadi mereka. Tiada lagi hubungan saling ketergantungan antar
individu sebagaimana kehidupan dunia. Secara teologi pun, banyak sekali ayat
al-Qur’an yang menjelaskan hal ini.
Di samping itu, doa sebelum tidur ini merupakan ikrar kesiapan manusia
untuk menempuh kematian. Ia juga merupakan ungkapan kesiapan untuk menghadapi
kehidupan akhirat yang serba individual. Coba Anda perhatikan makna lugas dari
doa tersebut, dengan lantang redaksinya berbunyi “Dengan nama Engkau pulalah
aku mati”. Dengan pemaknaan yang sedikit cermat, doa tersebut berarti
ungkapan pembicara (yang berdoa) mengenai kesiapannya untuk menempuh kematian.
Bukankah orang yang dengan lantang menyatakan sesuatu berarti ia telah siap
dengan segala konsekuensi dari ungkapannya itu?
Jadi, doa yang selama ini dibaca menjelang dan setelah tidur bukanlah
hal yang sederhana. Lebih dari itu, keduanya mempunyai makna yang sangat
mendalam. Bukan hanya sebagai permohonan perlindungan dan ungkapan rasa syukur
semata, melainkan juga sebagai ungkapan optimis untuk hidup sebaik mungkin
sekaligus ikrar kesiapan untuk menempuh kematian.
Wallahu a’lamu bi as-shawwabi!