Ust.Drs. H. Zulfahmi.
Disampaikan dalam amanat upacara 12 November 2012
Suatu ketika, Ibnu Mas’ud kedatangan tamu tak terduga. Ia
adalah seorang tua dengan pakaian lusuh seadanya. Satu hal lainnya yang menjadi
perhatian Ibnu Mas’ud adalah si bapak tua ternyata buta. Ia mendatangi Ibnu
Mas’ud dan berkata, “Wahai Ibnu Mas’ud, saya telah mendengar tentang kebesaran
Anda dari orang banyak. Sekarang, saya belum makan sesuap nasi pun selama dua
hari. Maka, dengan kebesaran Anda, berilah saya sedikit makan, dan izinkanlah
saya menginap beberapa saat di rumah Anda.
Mendengar permintaan tersebut, Ibnu Mas’ud mempersilahkan
bapak tua masuk dan memberinya makanan. Satu hal terasa janggal bagi Ibnu
Mas’ud. Si bapak yang buta ternyata bisa masuk berjalan ke dalam rumah tanpa
tongkat dan tidak ada salah satu langkah pun.
Setelah tinggal selama dua hari di rumah Ibnu Mas’ud, si
bapak tua kembali menyampaikan sebuah permintaan kepada Ibnu Mas’ud. “Wahai
Ibnu Mas’ud, saya adalah orang yang tidak terbiasa menerima pertolongan begitu
saja. Oleh karena itu, berilah saya pekerjaan, sehingga saya bisa tenang
menerima pemberian dari Anda sebagai hasil usaha saya.”
“Ya, kenapa tidak??” jawab Ibnu Mas’ud.
“Jika demikian, maka Saya mengajukan beberapa persyaratan:
Setiap pagi, Anda lah yang membukakan pintu dan jendela rumah saya,
membersihkan rumah dan pekarangan, dan membukakan pintu ketika ada tamu.”
lanjut Ibnu Mas’ud.
“Iya, saya setuju..!!” jawab bapak tua dengan singkat.
Keesokan harinya, Ibnu Mas’ud semakin penasaran. Mengapa
tamunya yang tua dan buta ini bisa melakukan aktifitas yang secara rasional
mustahil dijalankan oleh orang tanpa melihat. Akhirnya, Ibnu Mas’ud merasa
ragu, apakah benar tamunya ini buta atau tidak.
Ibnu Mas’ud berniat menguji si tamu. Ia membawanya kepada
seorang teman, si pandai besi. Ketika memasuki ruang kerja pandai besi, Ibnu
Mas’ud membawanya mendekat ke api pembakaran. Ketika si pandai besi memukulkan
pedang yang sedang merah panas terbakar api, cipratan bunga api mengagetkan
bapak tua, dan membuatnya pingsan.
Setelah sadar, Ibnu Mas’ud bertanya, “Mengapa engkau tahu
perihal bunga api tadi?”
“Meskipun saya buta, tapi mata hati saya lebih tajam
daripada pisau bermata dua.” Jawab si bapak tua.
Mendengar itu, Ibnu Mas’ud memeluk tamunya dan berkata,
“Jangan engkau tinggalkan rumahku. Tinggallah di sini, hatiku menjadi terbuka
semenjak Engkau ada di sini.”